Warning! cerita ini super cheezy wkwk.
Selamat membaca!!
“Hujan tak pernah salah ketika dia menyeru kepada Bumi untuk bersabar tapi apa itu definisi salah dan benar? Bahkan titik temu diantara keduanya pun sangat samar. Bumi merindu Hujan, selalu, setiap saat tak ada yang ia indahkan selain kicauan rindunya yang kian memekakan. Bumi masih menunaikan tugasnya hanya karena sebuah keharusan, dia sebenarnya sudah sangat lelah. Kemarau yang kini menjadi pemilik Bumi merasa tak enak sebab harus menjeda pertemuan antara Hujan dengan Bumi, tapi Matahari enggan untuk peduli. Bumi semakin lama semakin mengeras, kehidupan semakin tercekik, Kemarau sudah tak tahan, ia ingin segera pergi dan menyudahi penderitaan Bumi namun Matahari tetap pada pendiriannya, Bumi tak dapat melawan sebab tanpa Matahari dia bukanlah apa-apa, keseimbangannya harus tetap dijaga. Meski sisa-sisa Hujan masih tersimpan di dalamnya namun rindu untuk menemuinya secara langsung tak dapat digantikan oleh apapun. Bumi pun semakin mengeras, rindunya kian destruktif, ia mengguncang dirinya, pilar-pilar penyangganya hampir runtuh, Bumi sudah tak tahan. Ia merindukan Hujan.”
Aina menutup bukunya perlahan, tersenyum simpul kepada Jalu yang masih senantiasa memandanginya dengan sorot takjub. Kisah bumi dan hujan yang menggantung itu menimbulkan tanya dibenak Jalu tapi eksistensi gadis itu sendiri menutupi tanya diotaknya.
“Sudah selesai, Jalu. Kenapa masih memandangiku seperti itu?” Aina akhirnya angkat suara setelah hampir seperempat jam dipandangi dengan sorot penuh arti pemuda di depannya.
Ranu Jalu, pemuda itu kemudian mengambil buku tulis yang dipegang Aina, berisi belasan karya cerita pendek milik gadis itu, dia membukanya dan membaca lagi kisah yang baru saja dibacakan oleh Aina.
“Aku suka kisah ini, Ai. Tapi apa definisi salah dan benar menurutmu?” Jalu menutup buku ditangannya dan kembali menatap Aina dengan penuh arti.
“Entah.” Aina tertawa renyah, Jalu ikut tertawa. “Jawab betul-betul, Ai.” Kini wajah Aina nampak berfikir dan Jalu masih memandanginya seakan seisi dunianya ada di sana.
“Salah dan benar tidak sungguh-sungguh punya dasar, Jalu. Apalagi dalam pemikiran manusia, kita hanya mengatakan benar sesuai fakta lingkungan yang telah ada atau hanya sesuai apa yang kita rasa dan pikirkan, tanpa tahu pasti apa yang mendasari sesungguhnya. Banyak alasan dicari-cari untuk mendapatkan kesimpulan yang dianggap paling tepat tapi lebih banyak lagi alasan dicari-cari untuk membantah hal yang dianggap tepat. Benar atau salah bukan hitam atau putih yang mudah dibedakan, seringnya mereka tertukar tempat.” Aina menyudahi ucapannya dengan meraih bukunya dari tangan pemuda di depannya yang masih mematung mencerna penjelasannya.
“Sudah hampir petang, Mamak akan marah kalau aku tidak pulang dan terus mendongeng untuk anak orang kaya desa ini.” Keduanya tertawa, Jalu mengantarkan Aina hingga ke ujung jalan setapak dan mengawasi gadis itu hingga sampai ke rumahnya, mereka telah berjanji akan bertemu lagi esok.
Jalu adalah anak orang kaya di desanya, seperti yang dikatakan Aina. Bapaknya memiliki bisnis di luar kota juga juragan tanah di desanya, sedangkan Aina hanya anak petani biasa yang bahkan orang tuanya sering gagal panen karena tidak dapat membeli obat hama, dia anak satu-satunya. Jalu dan Aina telah bersahabat sejak kecil, mereka tumbuh bersama karena Ibu Aina yang bekerja pada keluarga Jalu, persahabatan mereka kian erat, pada masa sekolah menengah atas Aina tidak dapat melanjutkan pendidikannya dan akhirnya Jalu lah yang mengajarinya pelajaran-pelajaran sekolah, selepas pulang sekolah mereka akan bertemu di gubuk di tengah sawah dekat dengan rumah Jalu untuk belajar, tidak ada kata lelah untuk keduanya, Jalu senang mengajari Aina dan begitupun Aina yang selalu bersemangat mendapatkan ilmu pengetahuan. Hingga Jalu lulus SMA, dia masih mengajari sahabatnya itu, kebersamaan yang hampir setiap hari itu memunculkan suatu ikatan yang berbeda pada keduanya.
Tapi mereka berdua telat menyadari itu, setelah lulus SMA, Jalu melanjutkan kuliah di Ibu Kota dan itu tandanya dia meninggalkan sahabatnya, tak ada komunikasi terjalin hingga satu semester Jalu habiskan hanya fokus untuk belajar dan sesekali menahan rindu hebat. Liburan panjang menyapa, segera ia memesan tiket untuk pulang, pemuda itu dengan tas besarnya membawakan Aina oleh-oleh buku bacaan sastra banyak dari Ibu Kota, dia ingin memberi kejutan sekaligus menyatakan perasaannya, rangkaian kata sudah bersarang diotak seorang Ranu Jalu bahkan dia sudah memikirkan tempat dan waktu yang tepat dan seketika dia menginjakkan kaki di rumahnya, pemuda itu bergegas menemui sang gadis pujaannnya, mereka sudah berada di gubuk biasa mereka belajar dulu, masih terawat, Aina beberapa kali masih senang menghabiskan waktu di sini untuk sekedar menulis puisi atau cerita-cerita pendek.
“Kamu semakin cantik, Ai.” Puji pemuda itu terus terang serta tampak malu-malu dan ditanggapi gadis itu dengan tertawa juga sedikit tersipu mendengarnya.
“Terima kasih, Jalu. Kamu juga sudah terlihat sangat dewasa dan penampilanmu semakin beda seperti anak kota.” Jalu tersenyum simpul dan mengucapkan terima kasih.
“Ada yang ingin aku bicarakan, Ai. Sebenarnya aku sudah meny-” Ucapan Jalu menggantung belum keujung, Aina memotongnya begitu saja.
“Aku ingin berbicara dulu.”
“Eh, iya. Kenapa?”
Ada jeda cukup panjang, angin berhembus mempertegas keheningan.
“Aku sudah dijodohkan.” Gadis itu melanjutkan kata-katanya lirih.
Aina menunjukkan cincin dijari tengahnya, Jalu menatap tak percaya, semua rencananya hancur lebur. Pergelutan otaknya menemui titik temu, penolakan tanpa sempat mengungkapkan. Jalu sebenarnya masih sangat ingin memperjuangkan cintanya namun Aina sepertinya tak keberatan dengan statusnya saat ini. Gadis itu menceritakan apa saja yang terjadi selama Jalu pergi untuk mengenyam pendidikannya, keduanya terbungkam diujung kalimat penjelasan Aina. Jalu dengan emosinya yang ia coba redakan dan Aina dengan perasaan canggung serta hati terasa berat yang ia tak sadar karena apa. Seharusnya dia bisa bersikap biasa saja setelah memberi tahu Jalu kebenaran yang sesungguhnya tapi apa? Hatinya malah terasa berat, Aina masih belum sadar bahwa cinta dihatinya tumbuh untuk sahabatnya. Tak ada lagi kata-kata yang tersisa, mereka memilih pulang ke rumah masing-masing, Jalu menghabiskan liburan dengan membantu bisnis orang tuanya sekaligus mencoba melupakan Aina, dua bulan berselang tanpa adanya pertemuan, Jalu akhirnya kembali ke perantauan, sebelumnya dia telah menyerahkan oleh-olehnya yang sempat tertunda ia berikan itu kepada Aina.
Kini liburan semester ketujuh setelah lima semester sebelumnya Jalu lewatkan di Ibu Kota tanpa menjenguk rumah, dia menghabiskan waktu untuk mengembangkan dirinya dan juga mencoba melupakan gadis pemilik hatinya di desa. Jalu berhasil dengan karirnya tapi dia gagal dengan perasaannya, semuanya masih sama bahkan rindunya kian menguat. Aina masih satu-satunya dihati seorang Ranu Jalu. Dua minggu lagi adalah pernikahan Aina, pemuda itu mencoba menenangkan dirinya tapi pemikiran buruk selalu lolos masuk begitu saja.
Jalu bertekad untuk menculik Aina, membawanya ke kota dan menikah dengannya kemudian mereka akan hidup bahagia berdua, kisah klasik. Jalu telah cukup mapan bahkan dia sudah bisa membiayai dirinya dan kuliahnya sendiri, semua hal itu membuatnya sangat yakin untuk melakukan rencananya membawa Aina ke kota. Besok dia berencana akan mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya kepada sang gadis impian, kisah cintanya akhirnya memiliki sedikit dorongan untuk terungkap ke permukaan.
Hari itu tiba, Aina kembali membacakan sebuah cerita yang ditulisnya untuk Jalu dengan judul “Lelaki di Pelupuk Mata.”.
“Lelaki itu memiliki ambisi, memiliki hampir separuh kesempurnaan dunia, beri tambahan waktu satu windu untuknya maka langit pun menyediakan awan agar matahari tak menyakiti kulitnya, dia terlalu sempurna.” Aina menjada ceritanya sebab mendengar tawa sahabatnya.
“Tak ada yang namanya makhluk sempurna, Ai. Kisah yang kamu tulis kali ini sedikit berbeda bahkan dari judulnya juga, aku jarang mendengar ceritamu yang seperti ini bahkan hampir tidak pernah.” Aina menendang pelan kaki Jalu. “Biarkan aku melanjutkan ceritaku dulu, Jalu!” Pemuda itu hanya tertawa kemudian mengangguk dan setelahnya diam untuk kembali fokus kepada cerita Aina.
“Lelaki itu sangat sempurna, setidaknya untuk seseorang yang tulus mencintainya. Lelaki itu tidak tahu ada seseorang yang mengandai untuk dimilikinya namun seseorang itu telah merelakan diri dimiliki yang tak pernah diingini, harapan dan pengandaian melebur dan berceceran, sebuah kesadaran telak menghantam seseorang itu. Dia----.” Suara Aina menggantung.
“Dia kenapa, Ai?” Gadis itu menggeleng.
“Aku tidak mau lanjut menceritakan kisah ini, Jalu.”
“Baiklah. Kalau begitu lanjutkan kisah yang dulu, tentang bumi yang rindu hujan. Aku suka kisah itu.” Aina kembali menggelang tegas setiap kali Jalu meminta kisah itu dilanjut.
“Akan ku lanjutkan kapan-kapan. Aku minta maaf, Jalu.” Sambungnya.
“Eh, kenapa harus minta maaf? Kamu tidak salah, Ai. Biasa saja seperti biasanya.”
“Kita bertemu lagi esok lusa, Jalu.”
“Kenapa?”
“Kumohon.”
“Baiklah, Ai. Lusa ya.”
Kali ini Aina hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan Jalu. Pemuda itu mengerutkan dahinya, seperti ada yang aneh dengan gadis ini tapi belum sempat Jalu bertanya, Aina sudah pamit pulang dan tidak mau diantar bahkan jika hanya sampai diujung jalan. Dia mau pulang sendiri. Jalu seperti mengalami perpisahan tapi bukan juga perpisahan yang sesungguhnya, gadis itu hanya pamit pulang dan besok lusa mereka akan bertemu lagi. Jalu akhirnya juga menuju rumah dan hari ini rencananya gagal untuk mengutarakan perasaannya.
Hari berlalu dengan cepat, malam datang menggulung senja, pagi datang mengambil tahta, siang berganti tanpa permisi lalu sore menjemput dan malam kembali menguasai langit kemudian pagi hingga bertemu sore lagi dan pertemuan yang Jalu tunggu-tunggu akhirnya akan terjadi tapi bukan Aina yang dia temui, hanya sepucuk surat dengan tulisan tangan khas gadis itu. Jalu sangat mengenalinya. Kerutan tercetak jelas didahinya, pemuda itu bertanya-tanya kenapa ada sepucuk surat dengan tulisan tangan Aina di sana tapi tak ada terlihat gadis itu dimanapun. Jalu akhirnya membuka surat itu dan membacanya.
Teruntuk, Ranu Jalu.
Bumi masih pada perasaannya, dia masih merindukan Hujan. Bumi masih sangat merindukannya tapi Bumi selalu terhalang Kemarau. Kemarau mengaku dia sedih melihat Bumi yang seperti ini, dia menginginkan Bumi menerimanya, menerima kehadirannya. Hanya itu tapi Bumi malah selalu memikirkan Hujan, akhirnya Kemarau menyerah dan Bumi pun merasa iba, Bumi perlahan mengerti perasaan Kemarau, awan-awan di atas sana menghadiahkan Bumi itu Hujan untuk melepas sedikit rindunya namun Kemarau masihlah pemilik sah Bumi saat ini, Kemarau membiarka Hujan mengecupi Bumi dan Bumi sangat senang karenanya, Bumi melepas rindunya dengan mengisahkan banyak hal yang telah Hujan lewatkan selama ia tak mengunjungi Bumi, hingga waktu untuk berpisah pun tiba, Bumi harus kembali dipeluk Kemarau dan merelakan Hujan untuk pergi dengan meninggalkan jejak kehidupan untuk Bumi. Kisah Hujan dan Bumi telah usai, Bumi telah merelakan Hujan kini Bumi berharap akan hidup bahagia dengan Kemarau.
Aina.
Surat itu berisi kelanjutan kisah bumi dan hujan dengan kerinduannya, Jalu masih tidak faham maksud surat itu. Dia membolak-balik surat itu untuk menemukan tulisan lain namun nihil, tak ada apapun yang dia temukan. Begitupun ketika dia mencoba mencari di sekeliling gubuk apa mungkin ada surat lain yang kabur terbawa angin tapi tetap tidak ada. Jalu menyerah, dia akhirnya melangkah mantap menuju rumah Aina. Sesampainya di sana dia disambut pemandangan kosong dan sepi. Jalu mencoba memanggil-manggil Aina dan mengetuk pintu rumahnya tapi tak ada sahutan satupun, hal itu terus Jalu lakukan hingga dua puluh menit berselang. Jalu menyerah, pikirannya sudah tak tenang, dia hendak pergi tapi ekor matanya menangkap adanya sepucuk surat lagi yang tergeletak dibawah meja di teras rumah Aina. Jalu membuka dan membacanya.
Ini surat kedua setelah lanjutan kisah hujan dan bumi yang kamu suka itu, kalau aku boleh jujur kamu itu seperti hujan untukku, sejak dulu, sejak kita kecil masih sama-sama selalu kamu yang datang dan bermain juga mengajariku. Dari aku yang bodoh hingga menjadi aku yang sekarang, kamu masih saja datang, Jalu. Kemarin ketika dua tahun kamu tidak menjenguk desa, aku dilanda kerinduan yang sangat hebat. Hari demi hari ku lewati dengan perasaan bingung, rupanya perasaanku telah berbeda kepadamu sahabatku. Singkatnya, aku mencintaimu Ranu Jalu.
Pesta pernikahanku telah dilaksanakan pada hari setelah aku mengisahkan Lelaki di Pelupuk Mata itu, ya itu juga alasanku ingin menemuimu esok lusa tapi tak ku lakukan, aku tidak bisa Jalu. Semoga surat-surat ini mewakiliku. Aku dan keluargaku diajak suamiku untuk pindah ke kota, aku telah meninggalkan desa dan maafkan aku yang juga meninggalkanmu. Semoga kamu terus menjalankan hari-harimu dengan sangat baik seperti biasanya, Ranu Jalu.
Aina.
Jalu membeku dengan perasaan tak tentu, matanya terasa panas, gemuruh dihatinya tak tertahankan. Dia memikirkan banyak hal, memikirkan betapa bodohnya dia tidak menangkap maksud sang pujaan hatinya. Ternyata selama ini Aina juga mencintainya. Mereka terkungkung ego konyol dan status persahabatan serta ketidak tahuan untuk sekedar menyimpulkan. Jalu mencoba mencari Aina, emosinya mencuat ke udara. Ia ingin mendapatkan gadis itu saat itu juga namun seperti seperti kilatan petir menyambar, matanya menemukan sepenggal kalimat dibalik surat itu.
Jangan cari aku Jalu, semua ini pilihanku. Aku akan mencoba bahagia dengan pilihanku dan begitupun kamu. Kamu harus bahagia dengan siapapun itu.
Jalu menggeram, ini konyol! Semuanya konyol! Kenapa takdir bermain sejauh ini, kenapa dia tidak menyadari sedikitpun gerak-gerik Aina, menangkap maksud kisah-kisah yang dibacakannya, Jalu akhirnya memilih untuk kembali ke Ibu Kota. Dia ingin menenangkan batinnya dengan benar-benar jauh dari apapun yang berkaitan dengan gadis itu.
***
Delapan tahun waktu berjalan, pria dengan setelan
serba hitam itu disorot kamera dari banyak sisi. Ranu Jalu, seorang yang
namanya telah sangat tersohor saat ini, dia mendirikan start-up yang terbilang jenius, jasa-jasanya dengan mudah diterima
oleh khalayak ramai. Sebuah aplikasi ponsel pintar yang menyediakan kemudahan
fitur menyesuaikan jaman. Konferensi pers untuk peluncuran update terbaru start-upnya
diminati banyak kalangan, media berbondong-bondong meliputnya. Namanya
berseliweran distasiun tv, media massa elektronik maupun cetak. Dia menjadi
seseorang yang inspiratif saat ini. Hujan cukup deras mengguyur tapi
tersamarkan oleh antusiasme jepretan kamera dan sahut menyahut wartawan yang melemparkan tanya.
“Apa yang mendasari anda mengeluarkan fitur baru bernama Aina ini? Dan kenapa namanya harus Aina? Apa arti dibalik nama itu?” Seorang wartawan melemparkan pertayaan.
“Ah pertanyaannya terlalu banyak, nama ini saya
ambil tanpa ada maksud apa-apa. Saya hanya suka dan nama ini, mudah diingat.”
Jalu menjawab singkat diakhiri senyuman sarat makna.
Ya benar, dia hanya suka dengan nama itu. Delapan tahun berselang kini perasaannya telah agak mendingan. Meski masih Aina satu-satunya yang bertahta dan Jalu tidak keberatan, ia membiarkannya. Dia sudah tidak mau ambil pusing dengan perasaannya. Kapan-kapan jika hujan kembali melepas rindunya dengan bumi, dia juga akan melepas rindunya dengan Aina, sebagai seorang Ranu Jalu yang telah sukses, sebagai seorang Ranu Jalu yang mencintainya dan belum sempat mengungkapkan perasaannya, sebagai Ranu Jalu yang dicintai Aina dan sebagai Ranu Jalu sahabat Aina. Entah kapan, Jalu selalu percaya waktu yang diberikan Tuhan.
note : wow selesai hehe, terima kasih banyak telah berenan membaca dan meluangkan waktunya untuk cerita iseng ini hehe, ohiya cerita ini murni milikku yang kutulis kurang lebih bulan ketujuh tahun 2020.
Nala.
Komentar
Posting Komentar