Langsung ke konten utama

Memeluk Semesta

Warning!! cerita ini superrrr cheezy sksksk:"))

Genre : Fantasy.





 “Halo, Semesta? Ini aku si makhluk bumi, aku kembali lagi. Aku ingin jujur, aku mengagumi salah satu bintangmu tapi dia teramat jauh bahkan mataku tak dapat menangkap jelas keindahan sejatinya, hanya cahayanya dan kerlipnya tapi anehnya aku terlalu jatuh dalam kekagumanku kepada salah satu bintangmu, Semesta. Tak apa kan?” Dengan dagu tertopang kedua tangan, aku memandang bintang nun jauh itu dari jendela kamarku.

“Terserahmu, kagumi saja sesukamu. Tidak ada larangan untuk sekedar kagum atau suka, itu perasaanmu! Atur sendiri! Kamu bebas berperasaan apapun asalkan sesuai kadarnya, kenapa masih saja bertanya? Bodoh!” Semesta menjawab.

“Yeah, memang nyatanya aku nggak pintar-pintar amat, Semesta. Tapi aku juga nggak bodoh banget! Jahat sekali kamu mengataiku bodoh dengan telak.” Aku merajuk, tidak terima dengan ucapan Semesta, dia kira aku sebodoh itu?

“Astaga, aku hanya bicara! Baperan!” Lagi dan lagi, dia suka sekali mengataiku di akhir kalimatnya.

“Aku heran, kenapa mengekspresikan perasaanku seperti itu saja kamu anggap aku baperan, Semesta? Bukankah kamu sendiri barusan yang bilang kalau aku bebas mengekspresikan perasaanku? Kamu lebih bodoh, Semesta! Perkataan sendiri cepat sekali dilupakan!” Aku sungguhan merajuk, Semesta menghembuskan napas berat. Ia nampak lelah menanggapi ocehan gadis bumi ini.

“Baiklah! Aku mengaku salah. Ku maafkan kamu!” Aku melotot, semakin tak terima, apa-apaan itu? Harusnya aku yang bilang seperti itu. Dasar Semesta bodoh!

“Harusnya aku yang bilang seperti itu, Semesta!”

Semesta nyengir, jelek, aku tidak suka. ‘Aku minta maaf.” Sambung Semesta.

“Ku maafkan.” Semesta akhirnya tersenyum dengan benar bukan lagi cengiran, terlihat lebih baik. Aku suka, hehe.

“Ngomong-ngomong tentang bintangnya, apa kamu tidak penasaran bintang mana yang aku suka?”

Lengang sejenak, Semesta nampak berfikir cukup lama lalu melihat ke arahku dan mengawasi bintang-bintang disetiap konstelasinya.

“Entahlah, aku tidak memiliki ide bintang mana yang kamu sukai, seleramu berubah-ubah. Kemarin lusa katamu kamu benci Jupiter, besoknya kamu bilang ingin memaafkan Jupiter dan sekarang kamu jatuh cinta pada salah satu bintang? Otakmu terbentur atau bercabang?” Sungguh menyebalkan bercengkrama dengan Semesta, tidak ada baik-baiknya aku baginya. Yang dia lakukan dari tadi hanyalah mengingat keburukanku yang sesungguhnya tidak seburuk itu dan mengataiku, sepertinya ini sudah menjadi tabiat resminya mulai sekarang yaitu mengataiku.

“ASTAGA!! AKU MEMBENCIMU! KENAPA BISA BANYAK YANG MENGAGUMIMU DI LUAR SANA?? KAMU MENYEBALKAN SEKALI ASLINYA!” Aku mengomel kepada Semesta, kali ini benar-benar mengomel dan memelototinya. Ku lihat dia hanya nyengir seperti kuda liar terbentur pohon pinus. Jelek!

“Hahahah ini seru sekali, baiklah aku mengalah. Aku akan menebaknya. Sekali tebakanku benar maka kamu harus segera tidur. Tidak baik makhluk bumi terus memakai energinya hingga larut.” Semesta melunak. Aku mengangguk cepat, tidak lagi menanggapi ucapannya. Toh, aku juga sudah ngantuk sebenarnya, hehe.

Sembari menunggu Semesta menebak, aku kembali mengawasinya. Bukan, bukan Semesta yang ku awasi, enak saja! Mengawasi Semesta adalah hal ke sekian yang akan masuk dalam daftar tidak terdugaku. Yang ku awasi ini adalah bintang yang ku kagumi itu. Menawan, sungguh. Aku bahkan tidak sekalipun berkedip dalam beberapa menit ini. aku hanya fokus mengawasinya hingga tidak sadar di sana Semesta tersenyum mengetahui arah mataku yang tak henti-hentinya menatap takjub objek terindahku malam ini. Semesta tertawa pelan, dia sepertinya tahu. Dia menebak dengan telak dan benar, yeah, dialah Semesta yang terbantu oleh arah mataku memandang, haha!

“Bintang paling terang konstelasi Aquilla itu? Astaga kamu bahkan melihatnya sejelas itu! Bagaimana aku tidak bisa menebaknya dengan tepat? Untuk informasi saja ya, dia sudah punya kekasih jadi lebih baik kamu pergi jauh-jauh. Gadis bumi naif sepertimu Cuma seperti debu kosmik, tidak menarik, sebab kekasihnya bintang paling terang juga sama seperti dia di konstelasi berbeda.” Aku menatap Semesta datar. Benarkan apa yang ku bilang? Dia memang hanya tahu menghina dan mengataiku. Aku sudah jengah dengan sifatnya yang ini.  

“Kalau pun dia punya kekasih ya sudah biarkan saja, Semesta! Aku bukan perebut! Lagi pula aku ini hanya makhluk bumi dan dia itu sebuah bintang! Bagaimana bisa sebuah bintang memacari makhluk bumi?!”

“Eh? Tapi bukankah kamu sering berfikir demikian? Maksudku, kamu sering berandai memiliki kekasih seterang bintang ini, apa namanya? Kalian makhluk bumi menyebutnya apa? Halu kan? Ah, iya halu!” Semesta malam ini sungguh menjengkelkan, aku sudah tidak ada lagi kata-kata tersisa untuk menggambarkan betapa menjengkelkannya dia.

“Apa nama bintang itu, Semesta?! Beri tahu aku!” Aku memaksa, kali ini malas berdebat lagi. Sudah benar-benar kehilangan daya untuk berdebat dengan Semesta.

“Altair.” Semesta menjawab singkat. Astaga, bahkan namanya pun setampan itu.

“Nama kekasihnya?”

“Mau apa kamu tahu nama kekasihnya?” Semesta bertanya menyelidik, dia tidak pernah memiliki pikiran baik kepadaku memang, barang sekali.

“Ayolah, Semesta! Aku hanya mau tahu, lagipula kekasihnya juga bintang paling terang di konstelasinya sama seperti Altair dan aku ini hanya makhluk bumi. Bisa apa aku, eh?” Semesta mengangguk-angguk, benar juga, agaknya itu yang dia pikirkan.

“Namanya Vega.”

“Nama yang juga cantik, cocok sekali.”

“Kamu memuji?” Nada bicaranya benar-benar mengungkapkan ketidak percayaan, sangat menyebalkan.

“Menurutmu, Semesta?!” Aku bertanya ketus kepadanya. Dia tertawa renyah, mengiyakan.

“Semesta, apa aku akan mendapatkan Altair dihidupku? Maksudku bukan benar-benar Altair bintang itu tapi seseorang seperti Altair.”

“Bisa saja, asal kamu mau berusaha dan berdo’a kemudian sedikit tidak merepotkanku.” Dia tertawa. Tidak ada yang lucu, Semesta aneh!

“Tapi Semesta aku mau bertanya.”

“Dari tadi bukannya kamu sudah bertanya? Astaga makhluk bumi ini.” Kali ini aku yang menyengir, benar juga.

“Apa mereka saling mencintai Semesta? Maksudku, Altair dan Vega.”

“Ya, mereka saling mencintai. Sangat.” Semesta tersenyum hangat. Melihat bergantian pada Vega dan Altair. Aku juga tersenyum kepada mereka, ini sangat menenangkan. Melihat dua kekasih yang sama-sama bintang paling terang di konstelasi masing-masing ternyata saling mencintai.

“Apa aku bisa seperti mereka Semesta? Meski jarak memisahkan tapi apa aku bisa mencintai dan dicintai seperti mereka? Akan kah saat aku menemukan Altairku sendiri, aku bisa seperti itu? Aku takut, Semesta. Kamu benar bahwa perasaanku adalah milikku tapi bagaimana dengan perasaannya? Bagaimana kalau nanti Altairku akan berubah perasaannya terhadapku?” Tatapan Semesta melembut, ia jelas memiliki banyak ucapan yang akan diberikan kepadaku.

“Tenang. Jangan khawatirkan apa yang belum terjadi. Cinta itu hadiah dariku, perasaanmu milikmu dan perasaannya adalah miliknya. Kalau perasaannya berubah berarti memang waktunya telah usai untuk mencintaimu, perasaanmu juga akan usai setelahnya entah cepat ataupun lambat. Semuanya butuh waktu.”

“Bagaimana kalau tak pernah usai dan dia telah pergi.”

“Maka biarkan dia pergi dan biarkan aku yang bekerja, akan kuhadirkan lagi seseorang yang bisa menyudahi perasaanmu kepadanya dan menumbuhkan taman bunga baru lagi dihatimu.” Semesta terdengar sangat tulus, kali pertama di malam ini dia terdengar begitu peduli lagi. Ya, Semesta memang peduli tapi lebih banyak menjengkelkannya.

“Ini menjijikan Semesta, kenapa kita harus membicarakan hal seperti ini? Ewh!” Semesta tertawa, ya dia tahu tabiatku yang ini. Aku orang yang sangat tidak suka dipedulikan tapi mengeluh ketika tidak ada yang peduli, tsundere, dan semesta sudah sangat hafal. Dia tidak lagi mau mendebat.

“Tidurlah, makhluk bumi. Besok lagi kita bertemu, entah planet mana lagi yang akan kamu benci dan bintang mana lagi yang akan kamu kagumi, aku di sini terus siap mendengarkannya. Meski melelahkan menghadapi makhluk bumi sepertimu.” Ya itulah Semesta, kembali lagi menyebalkan tapi penuh dengan kepedulian.

Besok kita akan bercengkrama lagi Semesta, biarkan aku memelukmu malam ini untuk berterima kasih.


Selesai, hihi. Atau lanjut? Wkwkwk:)

kayak ada yang baca aja wkwkwk

Komentar